P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Sejarah Brubus: Kuliner Langka dengan Filosofi Unik dari Solo

Sejarah Brubus: Kuliner Langka dengan Filosofi Unik dari Solo

Warisan Kuliner yang Menggambarkan Filosofi Hidup

Di balik megahnya Puro Mangkunegaran di Solo, Jawa Tengah, tersimpan warisan kuliner yang tidak hanya lezat, tetapi juga sarat makna budaya. Salah satu contohnya adalah Brubus, hidangan pembuka klasik yang berasal dari masa K.G.P.A.A. Mangkunegara VII. Brubus merupakan olahan daging sapi giling yang dibumbui dengan rempah halus seperti bawang merah, bawang putih, kemiri, dan ketumbar, lalu dibungkus dengan lembaran sawi hijau. Setelah dikukus, hidangan ini disiram areh, santan kental yang dimasak hingga pekat, dan disajikan dengan sambal kencur yang memberikan sensasi pedas segar.

Brubus bukan hanya sekadar menu pembuka, melainkan representasi cita rasa dan filosofi hidup kaum bangsawan Jawa. Dalam tradisi kuliner Mangkunegaran, Brubus dikenal sebagai sajian pembuka yang menggugah selera sebelum hidangan utama disajikan. Selain rasanya yang gurih lembut, Brubus juga memiliki makna filosofis mendalam. Sawi yang membungkus daging giling menjadi simbol keharmonisan dan kesatuan antara isi dan wadah, rasa dan rupa. Sementara areh yang disiramkan di atasnya bukan hanya memperkaya rasa, tetapi juga menandai ciri khas kuliner Jawa yang akrab dengan olahan santan.

Brubus bukan hanya soal rasa, melainkan juga perpaduan nilai estetika, makna, dan sejarah. Ia menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa memandang makanan sebagai bagian dari keseimbangan hidup.

Dari Istana ke Pracimasana

Pada masa lalu, Brubus hanya dihidangkan dalam acara-acara khusus di lingkungan istana Mangkunegaran. Namun kini, hidangan bersejarah itu bisa dinikmati publik melalui Pracimasana, salah satu ruang jamuan di kompleks Mangkunegaran. Restoran ini terletak di Jl. RA Kartini, Timuran, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah. Lokasinya berjarak 1,5 kilometer dari pusat Kota Solo dan bisa ditempuh 4 menit kendaraan bermotor. Setiap Brubus yang tersaji di sana dibuat berdasarkan resep asli yang diwariskan turun-temurun.

Dengan teknik dan rasa yang dijaga otentisitasnya, Brubus hadir bukan hanya sebagai makanan, melainkan warisan budaya yang hidup. Dengan porsinya yang pas sebagai pembuka, Brubus tak hanya membangkitkan selera, tetapi juga mengundang rasa penasaran terhadap kekayaan kuliner Mangkunegaran lainnya.

Mangkunegaran dan Keterbukaan Cita Rasa

Mangkunegaran, yang merupakan bagian dari Catur Sagatra trah Mataram, dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa yang terbuka terhadap pengaruh luar. Hal itu tercermin jelas pada selera kuliner para adipatinya. Mangkunegara VII (1916–1944) misalnya, dikenal sebagai penggemar masakan Eropa, khususnya kuliner Perancis. Dalam jamuan di Karangpandan (17 Januari 1929), ia menyajikan menu seperti pottage julienne, croquette à la Français, hingga bifteck aux pommes salade. Bahkan pada perayaan Triwindu pemerintahannya tahun 1939, menu seperti oxtail clair dan meringue glacée hadir di meja tamu bangsawan dan pejabat Belanda.

Namun di tengah gemerlap cita rasa Barat, hidangan seperti Brubus tetap mempertahankan jati diri kuliner Jawa, mewakili keseimbangan antara tradisi dan inovasi.

Selera Mangkunegara VIII dan Warisan yang Bertahan

Ketika tampuk kepemimpinan berpindah ke Mangkunegara VIII pada 1944, selera kuliner di istana pun berkembang. Sang adipati gemar menikmati jadah, pindang telur, dan masakan Tionghoa seperti capcai serta mi. Namun, makanan-makanan tradisional Mangkunegaran, termasuk Brubus, tetap dijaga dan disajikan pada momen-momen penting di istana.

Kini, warisan kuliner itu dihidupkan kembali lewat paket wisata kersanan di Puro Mangkunegaran. Pengunjung bisa menikmati jamuan ala bangsawan di Balai Pracimoyoso, atau mencicipi menu kesukaan para adipati di Omah Sinten, restoran yang terletak tepat di seberang kompleks istana.

Posting Komentar

Posting Komentar