
Penataan Kawasan Perkotaan dengan Konsep Baru
Pemerintah Kota Yogyakarta sedang mempersiapkan konsep baru untuk menata kawasan perkotaan agar lebih teratur dan tidak semrawut. Salah satu fokus utamanya adalah mengelola keberadaan pengamen yang sering beroperasi di jalanan. Tujuannya adalah agar mereka dapat tampil secara berkala di tempat-tempat yang disediakan, sehingga tidak lagi mengganggu lalu lintas atau pejalan kaki.
Salah satu langkah yang diambil adalah mendorong kalangan industri wisata seperti perhotelan hingga destinasi wisata memberikan ruang bagi musisi jalanan untuk tampil. Dengan demikian, pengamen tidak lagi harus berada di jalan raya, yang berpotensi menyebabkan gangguan lalu lintas.
Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo menjelaskan bahwa pihaknya akan melibatkan restoran, hotel, destinasi wisata, dan pusat keramaian lainnya agar bisa memberi ruang bagi para pengamen. “Kami ingin mereka bisa tampil tanpa mengganggu lalu lintas atau pejalan kaki,” ujarnya.
Ruang Alternatif untuk Pengamen
Beberapa kawasan wisata seperti Malioboro, Taman Pintar, atau Embung Budaya Giwangan dapat menjadi alternatif bagi pengamen untuk berkarya sambil mencari nafkah. Di lokasi-lokasi tersebut, pengunjung bisa menikmati pertunjukan tanpa adanya paksaan seperti yang sering terjadi di perempatan jalan. “Di lampu merah itu aturannya sebenarnya dilarang. Selain mengganggu lalu lintas, juga menyalahi fungsi trotoar,” tambah Hasto.
Selain itu, pemerintah kota juga menerima keluhan dari kalangan perhotelan karena ada pengamen yang beraksi di kawasan hotel, membuat tamu merasa terganggu. Oleh karena itu, penataan kembali diharapkan bisa mengurangi kejadian ini.
Ruang Khusus Musisi Jalanan di Malioboro
Malioboro, sebagai kawasan wisata utama, juga akan menyediakan ruang khusus bagi musisi jalanan. Mereka yang tampil di kawasan ini akan dipilih dan dikurasi agar memiliki standar yang lebih baik. Hal ini dilakukan karena Malioboro merupakan ikon utama wisata Kota Yogyakarta.
“Malioboro sebagai ikon utama wisata Kota Yogyakarta harus bisa menghadirkan pengalaman yang lebih berkelas, termasuk dari sisi seni jalanan yang disuguhkan. Jadi kalau sudah mengamen di Malioboro, kualitasnya harus di atas rata-rata,” ujar Hasto.
Menurutnya, kehadiran musisi jalanan tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga bisa menjadi inspirasi dan daya tarik wisata. “Saya melihat musisi jalanan itu keren. Mereka bisa menjadi sumber inspirasi dan hiburan. Kalau diarahkan dengan baik, musisi jalanan justru bisa mengangkat citra kota,” tambahnya.
Pengendalian Jumlah Pengamen
Selain memberi ruang bagi musisi jalanan, pemerintah kota juga berupaya mengendalikan jumlah pengamen yang beroperasi. Saat ini, tercatat ada 23 kelompok pengamen yang beroperasi setiap harinya di berbagai ruas jalan. “Kami berupaya mengurus pengamen yang sudah ada, bukan membiarkan tambah banyak,” ujarnya.
Penataan Zero Gepeng
Dalam rangka memperingati HUT Kota Yogyakarta yang jatuh pada 7 Oktober 2025, pemerintah kota juga mulai menjalankan kebijakan Jogja Zero Gepeng. Kebijakan ini bertujuan untuk menangani gelandangan dan pengemis (Gepeng) agar kota lebih nyaman, tertata, dan manusiawi.
Hasto menjelaskan bahwa penanganan Gepeng ini penting untuk mencegah munculnya gelandangan baru. “Jangan sampai muncul gelandangan baru terus-menerus,” katanya.
Pendekatan Humanis dalam Penanganan Gepeng
Masalah gelandangan dan pengemis tidak boleh dibiarkan berlarut. Jika penanganannya masih menggunakan cara-cara lama, maka masalah ini akan terus berulang dan semakin banyak. “Saya tidak ingin sekadar mengembalikan mereka ke daerah asal, itu justru menambah masalah. Yang penting carikan tempat yang layak,” ujarnya.
Penanganan gelandangan dilakukan secara terstruktur, mulai dari pendataan hingga penyelidikan riwayatnya mengapa sampai bisa menjadi gelandangan. Setelah itu, solusi yang tepat dirumuskan.
Kepala Dinas Sosial Kota Yogyakarta Maryustion Tonang menjelaskan bahwa pemerintah kota menggunakan prinsip mengurus dan bukan mengusir dalam menangani gelandangan dan pengemis. Pendekatan ini berbeda dengan pola penegakan berbasis regulasi, yang biasanya melibatkan satuan polisi pamong praja atau Satpol PP.
“Pendekatannya humanis, kami mengurus, bukan mengusir salah satunya diarahkan ke UPT Rumah Layanan Lansia atau ke Camp Assessment, tergantung kebutuhan,” ujarnya.
Posting Komentar