
Insiden Kapal Wisata yang Merusak Terumbu Karang di Taman Nasional Komodo
Insiden kapal wisata bernama Apik yang dilaporkan merusak terumbu karang di perairan Pulau Sebayur Kecil, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, memicu kekhawatiran masyarakat luas. Peristiwa ini menimbulkan kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan aktivis lingkungan. Video yang beredar di media sosial menunjukkan jangkar kapal dijatuhkan dan diseret di dasar laut, menghancurkan struktur karang yang menjadi habitat penting bagi ekosistem bawah laut.
Pulau Sebayur Kecil dikenal sebagai salah satu lokasi penyelaman favorit wisatawan domestik maupun internasional. Keindahan terumbu karang dan keragaman biota laut menjadikannya destinasi yang sangat diminati. Namun, insiden ini menunjukkan bahwa perlindungan kawasan konservasi masih kurang optimal.
Kerusakan Serius yang Berdampak Jangka Panjang
Menurut penjelasan DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, kerusakan akibat tarikan jangkar Kapal Apik bukanlah tindakan sepele. Ia menyebutnya sebagai kejahatan serius yang dapat menghapus puluhan tahun pertumbuhan alami karang dan memicu degradasi ekosistem laut dalam jangka panjang.
“Harus ada pihak yang bertanggung jawab atas hal ini,” ujar Capt. Hakeng. Ia menekankan bahwa insiden ini tidak hanya soal kesalahan teknis atau kelalaian nakhoda, tetapi juga mencerminkan kegagalan tata kelola pariwisata bahari yang tidak seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Kerusakan terumbu karang memiliki konsekuensi ekologis dan ekonomi sekaligus. Karang merupakan rumah bagi biota-biota laut, pelindung garis pantai dari abrasi, serta daya tarik utama wisata bahari Indonesia. Namun, pertumbuhan karang sangat lambat, hanya beberapa milimeter hingga sentimeter per tahun. Sekali rusak, kita kehilangan puluhan tahun pertumbuhan. Ini bukan hanya kehilangan estetika laut, tapi juga kehilangan sumber kehidupan ikan, tempat bertelur, hingga sumber penghidupan masyarakat lokal.
Keterlibatan Pemerintah dan Koordinasi Antarinstansi
Capt. Hakeng menilai perlindungan kawasan wisata laut belum dijalankan dengan serius. Meski berada dalam kawasan konservasi, kapal wisata di Sebayur Kecil masih bebas membuang jangkar tanpa sistem jalur tambat atau mooring buoy yang semestinya menjadi standar di lokasi-lokasi penyelaman. Ia menegaskan bahwa jika area konservasi tidak ditentukan titik koordinat untuk tambat resmi, dan pengawasan tidak berbasis teknologi, maka insiden seperti ini akan terulang lagi.
Ia juga memberikan pandangan kritis terhadap lemahnya koordinasi antarinstansi. Taman Nasional Komodo berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tetapi aktivitas kapal diatur oleh Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) di bawah Kementerian Perhubungan. Di sisi lain, kawasan ini telah ditetapkan sebagai destinasi wisata super prioritas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sementara itu, perlindungan ekosistem laut berada dalam kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Ini tidak bisa hanya berhenti pada penahanan kapal atau nakhodanya. Empat kementerian harus bergerak bersama serta seirama. Tidak bisa terdapat 'Empat Nakhoda dalam satu kapal', bingung nanti kapalnya mau dibawa kemana. Harus ditentukan siapa yang menjadi penentu kebijakan dan penanggung jawab atas penegakan aturan disana,” kata Capt. Hakeng.
Tanggung Jawab Hukum dan Rekomendasi untuk Masa Depan
Secara hukum, insiden ini berpotensi masuk ranah pidana serta perdata lingkungan. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan lingkungan wajib bertanggung jawab. Selain itu, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur sanksi bagi tindakan yang merusak ekosistem dalam kawasan taman nasional.
Namun, Capt. Hakeng menegaskan bahwa penegakan hukum harus dibarengi reformasi tata kelola wisata laut. Banyak operator wisata lebih mengejar keuntungan tanpa memahami aturan konservasi. Pelatihan bagi nakhoda kapal tentang teknik berlabuh jangkar ramah lingkungan, zonasi karang, dan pengetahuan mengenai arus laut masih terasa sangat minim.
Pemerintah daerah pun masih lebih gencar membangun bandara, hotel, dan dermaga daripada mengutamakan kepastian perlindungan ekosistem laut. Capt. Hakeng berharap fokus pemerintah daerah bisa dibagi juga terkait kepastian perlindungan lingkungannya.
Langkah-Langkah yang Diperlukan
Capt. Hakeng mendorong KLHK melakukan audit ekologis dan pemulihan kawasan terdampak melalui restorasi aktif seperti transplantasi karang. Dia juga mendorong dipasangnya mooring buoy oleh KKP di seluruh lokasi wisata selam. Kementerian Pariwisata disebutnya perlu menetapkan standar sertifikasi wisata bahari lestari, sementara Kementerian Perhubungan wajib memperketat izin kapal wisata dan menerapkan teknologi pelacakan posisi kapal secara real-time untuk mencegah kapal masuk ke zona terlarang.
Selain pemerintah pusat, dia juga menilai peran masyarakat lokal sangat vital. Nelayan, pemandu selam, komunitas adat, mereka semua bisa menjadi penjaga ekosistem jika diberi pelatihan cukup, kewenangan, dan akses pelaporan yang jelas. Mereka tinggal dan bergantung pada laut, mereka adalah garda terdepan.
Citra Bangsa sebagai Negara Maritim yang Bertanggung Jawab
Dari semua itu, yang tidak kalah pentingnya adalah citra bangsa sebagai negara maritim yang bertanggung jawab. “Kita selalu bicara sebagai Poros Maritim Dunia. Tapi bagaimana mungkin dunia menghormati kita jika menjaga terumbu karang milik bangsa sendiri saja kita gagal? Bagi Bangsa Maritim, Laut bukan halaman belakang, tapi beranda utama,” imbuhnya.
Capt. Hakeng mengajak semua pihak melihat insiden kapal Apik bukan sekadar sebagai peristiwa hukum, tetapi sebagai momentum perubahan. “Ini harus menjadi titik balik. Pemerintah jangan hanya hadir saat promosi wisata, tapi juga saat laut terluka. Pelaku wisata harus sadar, karang bukan batu mati, tetapi rumah kehidupan. Dan kita semua harus bertanya, apakah kita masih punya keberanian untuk berubah sebelum laut kehilangan suaranya,” imbuh Capt. Hakeng.
.png)


Posting Komentar