P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Tidak di Hutan Lindung, KPH Bali Timur Sebut Wisata Berada di Kawasan Konservasi

Featured Image

Penjelasan KPH Bali Timur Terkait Pembangunan di Kawasan Konservasi

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Timur, Made Maha Widyartha, memberikan penjelasan terkait adanya dugaan pembangunan vila di kawasan hutan lindung di Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Ia menegaskan bahwa tidak ada vila yang dibangun di dalam hutan lindung. Menurutnya, bangunan tersebut bukanlah vila, melainkan sarana dan prasarana wisata alam yang berada di kawasan konservasi.

Made menekankan bahwa lokasi tersebut merupakan kawasan konservasi, bukan hutan lindung. Oleh karena itu, pembangunan di kawasan tersebut diperbolehkan selama tidak merusak ekosistem dan mendukung fungsi wisata alam. “Pembangunan di kawasan konservasi dimungkinkan, asalkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujar Made.

Dasar Hukum Pembangunan Sarana Wisata Alam

Dasar hukum dari pembangunan sarana dan prasarana wisata alam ini mengacu pada dua regulasi utama. Pertama, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.8 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Konservasi. Kedua, Peraturan Menteri LHK Nomor P.13 Tahun 2020 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Wisata Alam di Kawasan Hutan.

Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa kegiatan pembangunan diperbolehkan selama bertujuan untuk mendukung kegiatan wisata alam. Contohnya adalah penyediaan pos informasi, jalur interpretasi, shelter, toilet, serta akomodasi ramah lingkungan. Proses pembangunan harus mematuhi zonasi kawasan konservasi dan mendapatkan persetujuan teknis dari otoritas kehutanan.

Batas Luas Bangunan Fisik

Menurut Made, luas bangunan fisik maksimal hanya boleh mencapai 10 persen dari luas tapak pemanfaatan yang telah ditetapkan dalam izin usaha wisata alam. Ketentuan ini dibuat untuk menjaga keseimbangan antara fungsi konservasi dan pemanfaatan kawasan. “Tujuannya adalah agar tidak terjadi kerusakan ekosistem dan tetap menjaga fungsi konservasi,” jelasnya.

Setiap pemegang izin pembangunan wajib memperhatikan desain ramah lingkungan, meminimalkan perubahan bentang alam, serta melibatkan masyarakat sekitar dalam pengelolaan kegiatan wisata alam. “Kami pastikan tidak ada pembangunan yang melanggar aturan. Setiap kegiatan wajib memiliki dokumen teknis seperti site plan dan dokumen lingkungan, AMDAL, yang sesuai dengan ketentuan,” tambah Made.

Komitmen untuk Transparansi dan Partisipasi

Made menyatakan bahwa pihaknya terbuka terhadap masukan dan siap memberikan penjelasan bila ada keraguan di lapangan. Ia menekankan bahwa semua kegiatan yang dilakukan di kawasan konservasi dilengkapi dengan dokumen-dokumen teknis yang lengkap dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dengan demikian, pembangunan yang dilakukan di kawasan konservasi tidak hanya berdampak positif bagi wisata alam, tetapi juga menjaga keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Made berharap masyarakat dapat memahami bahwa kawasan konservasi bukan hanya tempat untuk perlindungan alam, tetapi juga bisa menjadi bagian dari pengembangan pariwisata yang berkelanjutan.

Posting Komentar

Posting Komentar