P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Izin Wisata Berisiko Tinggi, Ambang Batas Modal PMA Rp10 Miliar Tidak Sesuai

Featured Image

Kritik terhadap Sistem OSS RBA di Bali

Pemerintah Provinsi Bali terus berupaya memperbaiki sistem perizinan usaha yang berbasis risiko (OSS RBA). Keputusan Gubernur Wayan Koster dalam mendorong reformasi sistem ini mendapat dukungan dari Sekda Bali Dewa Made Indra. Menurutnya, kebijakan tersebut bertujuan agar lebih sesuai dengan kondisi dan karakteristik daerah.

Sekda Bali menyoroti adanya masalah dalam sistem OSS RBA, khususnya mengenai hilangnya verifikasi dokumen dan verifikasi faktual dalam proses pemberian izin. Ia menyebutkan bahwa saat ini izin bisa dikeluarkan hanya berdasarkan surat pernyataan tanpa adanya pembuktian. Tidak ada verifikasi modal, lokasi, atau kelengkapan dokumen. Semua proses berjalan secara otomatis, sehingga rentan terhadap penyalahgunaan.

Menurut Dewa Made Indra, banyak izin pariwisata yang dikeluarkan tanpa pengawasan yang ketat. Bahkan, bangunan-bangunan berdiri di sempadan sungai dan pantai. Ironisnya, sektor pariwisata yang jelas memiliki risiko tinggi justru diklasifikasikan sebagai risiko rendah dalam sistem OSS RBA. Ia menilai seharusnya sektor pariwisata di Bali dikategorikan sebagai risiko tinggi. Jika izin terlalu mudah, dampaknya sangat besar terhadap lingkungan dan masyarakat.

Sebelumnya, Gubernur Bali Wayan Koster juga menyampaikan kritik terhadap sistem perizinan yang sepenuhnya otomatis. Menurutnya, sistem ini telah menghilangkan peran pemerintah daerah. Bahkan, izin bagi Penanaman Modal Asing (PMA) bisa terbit tanpa verifikasi kabupaten/kota. Dengan modal hanya Rp 10 miliar, banyak investor asing leluasa masuk. Padahal angka itu sering hanya tercatat di atas kertas. Praktiknya di bawah Rp 1 miliar, tetapi mereka sudah menguasai jenis-jenis usaha rakyat.

Koster memberikan contoh, di Kabupaten Badung saja lebih dari 400 orang asing memiliki usaha rental kendaraan. Belum termasuk usaha bahan bangunan dan kuliner yang berdiri di lahan milik warga lokal. Ia khawatir jika dibiarkan, pelaku luar akan membanjiri sektor ekonomi Bali. Ruang usaha anak-anak Bali akan diambil, dan ekonomi rakyat akan lumpuh.

Masalah lain yang disoroti oleh Koster adalah lemahnya pengawasan daerah yang berdampak langsung pada pelanggaran tata ruang. Ia menyebutkan bahwa kewenangan kabupaten/kota terbatas, dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) banyak yang belum lengkap. Akibatnya, izin bisa terbit di kawasan yang seharusnya dilindungi.

Baik Gubernur Koster maupun Sekda Dewa Indra sepakat bahwa ambang batas modal PMA sebesar Rp 10 miliar sudah tidak relevan untuk Bali. Bagi Bali yang nilai ekonominya tinggi, angka Rp 10 miliar itu terlalu rendah. Mereka mengusulkan dinaikkan menjadi Rp 100 miliar agar investor asing yang masuk benar-benar berkualitas. Koster mengatakan selama ini modal tersebut jarang terealisasi. Banyak izin hanya formalitas administratif tanpa realisasi lapangan.

"Inilah yang membuat investasi asing membanjiri sektor kecil yang seharusnya menjadi ruang hidup pelaku lokal," ujar Koster. Ia berharap dengan adanya perubahan regulasi, Bali dapat menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan terhadap masyarakat setempat.

Posting Komentar

Posting Komentar