P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4
Bookmark

Translate

Desa Watodiri, Raja Garam Tradisional Lembata yang Jadi Ikon Wisata

Featured Image

Desa Watodiri: Warisan Budaya dan Kekayaan Alam yang Terus Dilestarikan

Desa Watodiri, yang terletak di pesisir pantai kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata, memiliki potensi yang tak pernah habis. Wilayah ini dikenal dengan kekayaan alam dan budaya yang khas serta unik. Sebagian besar warga desa ini menggantungkan hidup dari laut, baik sebagai nelayan maupun petani garam tradisional.

Produksi garam di Desa Watodiri bukan hanya sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga merupakan warisan budaya yang terus dilestarikan. Selain wisata alam, desa ini juga memiliki fosil ikan paus dan Muro atau Badu, yaitu model konservasi berbasis kearifan lokal. Tradisi produksi garam tradisional di desa ini sudah berlangsung ratusan tahun dan menjadi bagian penting dari identitas masyarakat setempat.

Proses pembuatan garam di Desa Watodiri tidak seperti cara biasanya. Umumnya, garam dibuat dari air laut, tetapi di sini, prosesnya menggunakan tanah. Petani garam tradisional Desa Watodiri, Maria Anu, menjelaskan bahwa proses dimulai dengan menyiapkan wadah untuk mengambil tanah. Tanah tersebut kemudian disimpan dalam karung yang ditempatkan pada ketinggian sekitar pinggang perempuan dewasa.

Setelah itu, tanah tersebut disiram dengan air laut. Air yang menetes dari karung tersebut ditampung dalam wadah di bawah karung. Sebelum dimasak, air tersebut disaring terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran. Setelah disaring, air laut tersebut dimasak. Proses memasak bisa dilakukan dua kali sehari, tergantung cuaca. Setelah dimasak, garam dijemur di bawah sinar matahari selama seharian.

Garam yang dihasilkan dijual per rantang dengan harga Rp 5.000. Menurut Maria Anu, teknik pengolahan tradisional ini menciptakan garam dengan cita rasa khas yang berbeda dari garam daerah lain. Proses ini juga menunjukkan ketekunan dan kesabaran para petani dalam menghadapi ritme alam.

Dalam sehari, petani garam Desa Watodiri hanya bisa memproduksi dua kali. Saat musim hujan, produksi garam hampir berhenti total. Hal ini membuat garam tradisional semakin istimewa karena diproduksi secara terbatas dan penuh ketekunan.

Sebagian besar petani garam menjual hasil produksi langsung ke pengepul. Kreativitas dalam memasarkan produk ini membuat garam tradisional bukan hanya sebagai konsumsi, tetapi juga oleh-oleh khas yang unik. Keunikan garam ini tidak hanya terletak pada rasanya, tetapi juga pada prosesnya yang sepenuhnya mengandalkan tenaga manusia tanpa mesin modern.

Proses pembuatan garam ini juga menjadi daya tarik wisata edukasi. Masyarakat setempat percaya bahwa tradisi garam tradisional Desa Watodiri tidak hanya tentang keterampilan, tetapi juga kesabaran dalam menghadapi alam. Desa Watodiri kini tidak hanya dikenal sebagai destinasi wisata alam, tetapi juga sebagai sentra garam tradisional.

Perpaduan antara warisan budaya, inovasi pemasaran, dan dukungan pariwisata menjadikan garam tradisional Watodiri sebagai simbol potensi lokal yang berhasil bersaing di era global. Kepala Desa Watodiri, Robertus Sayang Ama, menyampaikan terima kasih atas kunjungan ke lokasi masak garam tradisional. Ia menyebutkan bahwa filosofi hidup masyarakat desa adalah "olah tanah jadi nasi, aduk laut jadi susu", yang menggambarkan perjuangan dan kerja keras masyarakat dalam menjaga kehidupan mereka.

0

Posting Komentar